Tabarenah, Sejarah yang Terlupakan
BANYAK pejuang Indonesia yang tak tercatat dalam sejarah. Meski demikian, setelah merdeka saat ini, jejak sejarah akan menjadi saksi bisu. Untuk itu, harusnya jejak sejarah perjuangan menuju merdeka di beberapa daerah di Provinsi Bengkulu idealnya tidak diabaikan. Mesti ada perhatian khusus pemerintah agar kita tak termasuk orang yang melupakan sejarah.
Bertepatan dengan moment HUT RI ke-66 beberapa hari lalu, Tim Radutraveling mengunjungi jejak sejarah di Bumi Pat Petulai Rejang Lebong. Jejak sejarah ini terdapat di Desa Tabarenah Kecamatan Curup Utara. Informasi awal menyebutkan, desa ini menjadi saksi bisu atas pertumpahan darah pejuang Indonesia dalam perlawanan terhadap tentara Jepang, 30 Desember 1945 silam.
Desa ini terletak di jalan lintas Curup-Muara Aman atau sekitar 5 Km dari ibukota RL. Mengawali perjalanan kali ini, kami langsung mengunjungi sebuah tugu perjuangan di pinggir jalan lintas Curup-Muara Aman. Namun sayangnya, tugu perjuangan yang dibangun sekitar tahun 1946 tersebut kini tampak tak terurus. Bahkan beberapa bagian tugu tampak retak-retak.
Tiba di lokasi, kami cukup beruntung. Sebab kami dapat bertemu langsung dengan salah seorang warga Tabarenah, Abek, 83 tahun, yang tinggal tak jauh dari tugu perjuangan tersebut. Dari sinilah kemudian sejarah itu dimulai.
Diceritakan Abek, 30 Desember 1945 lalu telah terjadi peristiwa peperangan cukup besar antara tentara Indonesia dibantu masyarakat (TKR) melawan serdadu Jepang. Sebenarnya, perlawanan itu telah terjadi sejak 27 Desember 1945. Sebab pada waktu itu, serdadu Jepang masuk dan ingin menguasai Kota Curup. Bahkan penjajah itu kian gencar mengumbar teror dan tak segan-segan membunuh masyarakat yang melakukan perlawanan.
"Puncaknya saat itu tentara Jepang ada yang dipenggal atau dibacok kepalanya oleh masyarakat RL. Tentara Jepang itu dibacok Jaiman, warga Talang Kering. Pembacokan itu terjadi karena saat itu tentara Jepang menginstruksikan kepada seluruh masyarakat untuk membuka pintu dan jendela. Sedangkan rumah Jaiman tidak membuka pintu. Ketika tentara Jepang mencoba mendobrak, tentara Jepang itu justru dipenggal kepalanya oleh Jaiman. Peristiwa itu terjadi 29 Desember 1945," kisah Abek.
Dipenggalnya kepala tentara Jepang saat itu membuat kemarahan Jepang memuncak. Kemudian pada 30 Desember sekitar pukul 06.00 WIB, serdadu Jepang langsung menyerang dan memborbardir pertahanan tentara Indonesia dan TKR di Desa Tabarenah, tepatnya di jembatan Desa Tabarenah.
Pejuang Indonesai dibawah komando Burlian, Iskandar dan Zakaria Kamidan pun langsung melakukan pertahanan dan perlawanan. Namun karena tak memiliki amunisi dan peralatan cukup, akhirnya serdadu Jepang berhasil menerobos pertahanan pejuang Indonesia dan berhasil masuk ke Desa Taberenah. Selanjutnya, tak kurang ratusan rakyat di desa itu menjadi korban amukan tentara Jepang.
Seperti digambarkan Abek, Desa Tabarenah saat itu bagaikan lautan api yang dihujani gemuruh mortir dan tembakan. "Bayangkan saja, dari 66 rumah saat itu, yang tidak terbakar hanya 6 rumah. Yang lainnnya dibakar habis serdadu Jepang," ujar Abek sembari menunjukkan salah satu rumah yang tidak terbakar dan masih utuh sampai saat ini.
Tak berapa lama setelah itu, rasa nasionalisme warga lain pun bermunculan. Ratusan masyarakat dari berbagai daerah seperti Muara Aman, Ujung Tanjung, Tes, Kota Donok, Talang Leak (saat ini semuanya masuk dalam Kabupaten Lebong) dan Air Dingin Pal VIII, Bukit Daun serta Tabarenah, ikut melakukan perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Setelah melakukan perang dengan cara berhadap-hadapan (frontal) sehari penuh, ratusan pejuang Indonesia pun gugur dan berserakan di tanah Desa Tabarenah. Sementara serdadu Jepang yang kondisinya hampir keseluruhan tewas dan luka-luka, memilih mundur menuju Teh Kuku (sekarang Kelurahan Dwi Tunggal Kecamatan Curup). Sedangkan pejuang Indonesia Komandan Burlian, Iskandar dan Zakaria dilarikan ke Muara Aman karena terkena tembakan.
"Untuk diketahui, penyerangan Jepang ini dimulai dari Jakarta dan habisnya di Tabarenah ini. Saat itu tentara Jepang hampir semuanya tak bisa bergerak. Ada yang sudah tewas dan ada yang luka-luka. Yang tinggal hanya sopirnya saja, sekitar 90 orang tentara Jepang itu kemudian ditumpukkan ke dalam mobil milik mereka dengan jumlah total 8 mobil. Kemudian puluhan tentara Jepang itu dibawa ke Teh Kuku," paparnya.
Setelah puas mendengar cerita pelaku sejarah, kami langsung mengunjungi rumah panggung yang masih tertinggal pada saat peperangan terdahulu. Kami juga melihat tugu perjuangan yang baru dibuat pada tahun 1999 lalu berada di pinggir sungai musi yang berada tak jauh dari jembatan Tabarenah. Keadaan tugu tersebut hampir sama dengan tugu pertama, tak terawat dan terancam rusak.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten RL Muhammad Rizal mengatakan, Desa Tabarenah merupakan sebuah desa sejarah perang terbesar di Provinsi Bengkulu. Dalam peristiwa itu peperangan di desa ini, sekitar 250 pejuang Indonesia gugur dan luka-luka. "Kami memang berencana akan lebih mengembangkan Desa Tabarenah tersebut menjadi lokasi desa wisata sejarah. Karena tempat disana cukup stategis, ada cerita sejarah dan rumah kuno, ada sungai yang membentang dan ada tugu sejarah," ungkap Rizal. (sanca - Radar Utara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.