Welcome to My Blog.....

Senangnya Bisa Berbagi Kepada Teman-teman Semua.....

Cari Blog Ini

Laman

Senin, 11 April 2011

Lebong Tandai, Riwayatmu Dulu











Lebong Tandai, Riwayatmu Dulu

BATAVIA kecil adalah nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di wilayah itu. Dulu, wilayah ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun investor saat Indonesia sudah merdeka.
Untuk menuju lokasi penambangan emas di Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara ini, kita dapat memilih melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju Desa Napal Putih. Sedangkan jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih, kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setelah tiba di Desa Napal Putih, kita kemudian menuju Stasiun Molek (sebutan untuk kereta  lori berukuran 5 x 1 meter, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Stasiun  ini terletak di ujung desa, di pinggir Sungai Ketahun. Biasanya, terminal ini ramai pada Senin dan Kamis. Sebab pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju Desa Lebong Tandai.
Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB. Hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai  tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB karena jalur rel hanya satu. Jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet di jalan, salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang dan Molek pun dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para “masinis” Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan di kanan kiri dan Molek yang berjalan di depan atau di belakang Molek yang kita tumpangi. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal di jalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 Km panjangnya rel kereta.
Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, kita akan melewati 3 terowongan yaitu terowongan lubang panjang (300 meter), lubang tengah (100 meter) dan lubang pendek (50 meter). Setelah melewati terowongan itu, sampailah kita di Desa Lebong Tandai. Pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer dengan rapi di sepanjang jalan di tengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu dan menonton TV. Bahkan tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum ketika tiba di desa ini. Betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam dengan pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba di depan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan  nuansa modern. Listrik yang terang-benderang dan tak pernah mati memancar  dari setiap rumah dan sudut desa. Hampir di tiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup di daerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan, memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam di masyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini. Saat itu dibangun kamar bola (tempat bermain biliar), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah  kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta, red).  Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980-an. Di desa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini, hampir saja ada lokalisasi. Sebab PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup di lokasi tambang tanpa boleh membawa istri).
Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, di sebelah selatan berbatasan dengan Bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan Bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin. Penduduk di sini cukup heterogen, ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan  2 bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal.  Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi, kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.
Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining, sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden RI, Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Mukomuko. Hanya sedikit warga  yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin, konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi ke luar desa.
Keindahan alam di desa ini memang menakjubkan. Siang harinya, kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata alam dan wisata sejarah. Diantaranya, tambang emas tradisional, eks Rumah Sakit  Belanda, kamar bola, Rumah Simau atau bangunan terbuat dari kayu yang mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, pemakaman Belanda, pemakaman  China, makam pahlawan, gedung bulutangkis Belanda, Air Panas Alami, Alat Tambang Kuno, Sungai Lusang, Hutan TNKS dan kerajinan perak. (**)

Naskah: Agustam Rachman SH; Expert of Paskass
agustam@paskass.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.