Welcome to My Blog.....

Senangnya Bisa Berbagi Kepada Teman-teman Semua.....

Cari Blog Ini

Laman

Senin, 25 April 2011

Kisah Batu di Suban Air Panas














Kisah Batu di Suban Air Panas

WISATA Suban Air Panas di Rejang Lebong tak hanya memancarkan aura keindahan dan kesejukan. Namun lokasi ini juga menyimpan cerita batu peninggalan yang banyak diyakini mengandung nilai mistis.
Suban Air Panas berada di jalan lintas Curup-Lubuk Linggau  dengan jarak tempuh sekitar  6 Km dari Kota Curup atau sekitar 90 Km dari Provinsi Bengkulu. Obyek wisata ini memiliki luas sekitar 30 Ha dan dibuka untuk umum sejak tanggal 1 Nopember 1967. Di sini, terdapat dua buah peningalan Suku Rejang yaitu Batu Megalitikum dengan lokasi berbeda. Batu pertama terdapat di bagian bawah. Batu megalitikum di lokasi pertama ini juga sering disebut dengan "Tri Sakti". Seratus meter dari lokasi pertama, terdapat pula satu lagi batu megalitikum yang dikenal dengan nama "batu menangis" atau "Putri Selangkah"
Pada dokumentasi yang dibuat kolonial Belanda (Tropen Museum) tahun 1931 terdapat keterangan bahwa batu tersebut merupakan peninggalan Pasemah. Namun menurut pengelola Suban Air Panas,  Surya Johan ST keterangan itu tidaklah benar. Sebab batu megalitikum ini terdapat di daerah suku Rejang berada. Adalah hal aneh bila orang (suku Pasemah) yang tak ada di daerah tersebut dikatakan membuat batu tersebut.
Menurutnya, batu Tri Sakti memiliki cerita tentang tiga orang hebat yakni Sebei Teret, Sebei Tikis dan sebei Bitan yang hinga kini dipercayai dapat memberikan pertolongan kepada pengunjung. Bahkan hingga saat ini, masih ada beberapa warga yang meminta pertolongan denagn membawa beberapa sesajian ke tempat keramat itu.
Sedangkan Batu Menangis atau sekarang disebut "Putri Selangkah", konon katanya dulu batu tersebut dijadikan tempat merenung dan menangis sang putri  yang bernama Gemercik Emas yang tidak mau dijodohkan dengan Putra Gambir Melang yang merupakan putra Suku Rejang. "Kenapa dikatakan sekarang ia Putri Selangkah, karena dahulu setiap  putri tersebut hendak pergi ke arah empat penjuru mata angin baru selangkah putri itu berjalan, kemudian langsung menghilang dan telah sampai di tempat tujuan," katanya.
Diakui Johan, dulu batu itu memang sering mengeluarkan air. Sebagian warga mempercayai, batu itu merupakan air mata Putri Selangkah. Hanya saja, saat ini batu itu sudah jarang mengeluarkan air. "Air Putri Selangkah ini juga diyakini bisa melancarkan urusan jodoh. Pengunjung biasa mengusapkan air dari batu itu ke alis mata," kata Johan.
Selain tempat sejarah, lokasi wisata Suban Air Panas juga memiliki fasilitas seperti tersedianya sumber air panas yang dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakut kulit dan penyakit lainnya. Selain itu, di obyek wisata ini juga terdapat sebuah kolam renang yang cukup luas. Pengunjung di wisata ini juga dapat menikmati air terjun bercabang dua dengan ketinggian kurang lebih 90 meter. (sancha - radar utara)

Sabtu, 16 April 2011

Jejak Sejarah yang Terlupakan






Jejak Sejarah yang Terlupakan

INI mungkin satu diantara deretan panjang peninggalan sejarah yang terlupakan. Belum lama ini, Tim Radutraveling mengunjungi rumah bersejarah di Desa Napal Putih Kecamatan Napal Putih. Rumah bersejarah ini merupakan aset peninggalan sejarah pada tahun 1949 dan menjadi kebanggaan masyarakat Napal Putih.
Rumah yang berada di atas areal lahan seluas 50 x 170 meter ini merupakan bukti sejarah pada masa Gebernur Militer Belanda Daerah Sumbagsel. Masyarakat Napal Putih sering menyebut rumah ini dengan sebutan Markas Pangeran M Ali. Melalui UU Cagar Budaya No 5 tahun 1992, tiga rumah di atas areal lahan ini sudah dijadikan sebuah aset sejarah yang dilindungi. Sementara ini, pengelolaannya masih di bawah naungan Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah Purbakala Provinsi Jambi.
Untuk mengunjungi jejak peninggalan sejarah di Kecamatan Napal Putih ini sebenarnya tidaklah sulit. Sebab letaknya strategis berada di tengah pemukiman penduduk dan berada di tengah-tengah Kecamatan Napal Putih. Hanya saja, perjalanan menuju ke Napal Putih yang memang masih membutuhkan persiapan matang. Sebab dengan kendaraan roda dua saja, setidaknya dibutuhkan lebih dari dua jam perjalanan dari Ketahun. Jarak Ketahun-Napal Putih memang tak lebih dari 60 Km dari jalinbar Kecamatan Ketahun atau via Karang Pulau. Namun karena kondisi jalan penuh lubang dan rusak total, membuat perjalanan menuju Napal Putih semakin sulit.
Pantauan tim ketika tiba di rumah bersejarah ini, aset tersebut tampak jelas tak maksimal diperhatikan pemerintah. Bahkan perawatan dan pemeliharaan rumah induk yang berukuran 12 x 24 meter dengan konstruksi rumah kayu dua tingkat itu lebih banyak mengandalkan swadaya petugas kebersihan yang memang sudah sejak beberapa tahun terakhir telah ditetapkan oleh BP3 Jambi sebagai petugas tetap.
Meski minim fasilitas dan tak direhab, kondisinya masih tampak bersih. Hanya saja, karena belum maksimalnya perhatian pemerintah, dari 118 macam benda bersejarah yang ada dalam rumah itu, kini hanya dapat ditemukan delapan macam benda bersejarah saja. Kedelapan benda bersejarah itu yakni kaca, lemari, tempat tudur serta kursi dan beberapa perlengkapan lain. Sisanya, lenyap entah kemana. Begitu pula dengan areal lahan yang luas harus diakui belum maksimal tertata. Sehingga beberapa ikon sejarah yang ada seperti kolam pemandian sang Pangeran Ali pun masih tersimpan di balik semak belukar.

Tanpa Listrik
Sementara itu, penjaga sekaligus pengelola rumah bersejarah yang telah ditugaskan BP3 Jambi, Susila, 45 tahun, mengaku cukup kewalahan untuk memaksimalkan perawatan serta pelestarian aset bersejarah ini. Tanpa bermaksud mengeluh, namun menurutnya perhatian pemerintah daerah memang belum ada.
Sesuai amanah, dia mengaku akan tetap menjaga dan merawat aset sejarah ini semampunya. Meskipun upaya ini sering harus mengorbankan honornya sendiri untuk melengkapi beberapa kebutuhan perawatan. Mirisnya, rumah bersejarah ini jika malam hari tanpa diterangi sinar listrik. Selain kotak sampah tak tersedia di lokasi ini, bendera merah putih pun masih dibeli penjaga rumah bersejarah ini dengan uang pribadi. "Enggak ada. Bendera itukan saya beli sendiri jadi terpaksa saya pasang pada hari Senin dan hari tertentu saja biar enggak cepat rusak," katanya.
Diakui Sila, pendapatan yang diperolehnya dari BP3 Jambi memang sudah dinilai cukup sebagai penghargaan terhadap apa yang telah dilakukanya untuk aset sejarah itu. Hanya saja, untuk melakukan perawatan secara maksimal tentu masih sangat banyak keperluan yang semestinya dapat diperhatikan pemerintah. Menurutnya, dengan areal lahan luas tersebut dia hanya mampu memaksimalkan separuhnya dalam hal kebersihan dan perawatan, begitu juga dengan bagian dalam rumah. "Apalagi rumah bersejarah ini memang belum tersentuh pemugaran. Listrik belum ada, kamar mandinya hampir rusak. Bahkan sumur peninggalan sejarah pun kondisinya sangat memprihatinkan. Belum lagi masalah atap dan beberapa bagian rumah yang mulai lapuk dimakan rayap," bebernya.
Dia berharap, kedepan aset sejarah ini dapat diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga penataan, pengelolaan dan perawatannya akan lebih maksimal. Dengan demikian, nilai sejarah budaya di daerah ini tetap lestari sekaligus memberikan kontribusi besar bagi Napal Putih. (ependi harian- radar utara)
       

Senin, 11 April 2011

Lebong Tandai, Riwayatmu Dulu











Lebong Tandai, Riwayatmu Dulu

BATAVIA kecil adalah nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di wilayah itu. Dulu, wilayah ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun investor saat Indonesia sudah merdeka.
Untuk menuju lokasi penambangan emas di Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara ini, kita dapat memilih melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju Desa Napal Putih. Sedangkan jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih, kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setelah tiba di Desa Napal Putih, kita kemudian menuju Stasiun Molek (sebutan untuk kereta  lori berukuran 5 x 1 meter, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Stasiun  ini terletak di ujung desa, di pinggir Sungai Ketahun. Biasanya, terminal ini ramai pada Senin dan Kamis. Sebab pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju Desa Lebong Tandai.
Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB. Hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai  tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB karena jalur rel hanya satu. Jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet di jalan, salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang dan Molek pun dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para “masinis” Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan di kanan kiri dan Molek yang berjalan di depan atau di belakang Molek yang kita tumpangi. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal di jalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 Km panjangnya rel kereta.
Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, kita akan melewati 3 terowongan yaitu terowongan lubang panjang (300 meter), lubang tengah (100 meter) dan lubang pendek (50 meter). Setelah melewati terowongan itu, sampailah kita di Desa Lebong Tandai. Pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer dengan rapi di sepanjang jalan di tengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu dan menonton TV. Bahkan tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum ketika tiba di desa ini. Betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam dengan pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba di depan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan  nuansa modern. Listrik yang terang-benderang dan tak pernah mati memancar  dari setiap rumah dan sudut desa. Hampir di tiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup di daerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan, memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam di masyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini. Saat itu dibangun kamar bola (tempat bermain biliar), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah  kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta, red).  Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980-an. Di desa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini, hampir saja ada lokalisasi. Sebab PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup di lokasi tambang tanpa boleh membawa istri).
Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, di sebelah selatan berbatasan dengan Bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan Bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin. Penduduk di sini cukup heterogen, ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan  2 bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal.  Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi, kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.
Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining, sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden RI, Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Mukomuko. Hanya sedikit warga  yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin, konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi ke luar desa.
Keindahan alam di desa ini memang menakjubkan. Siang harinya, kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata alam dan wisata sejarah. Diantaranya, tambang emas tradisional, eks Rumah Sakit  Belanda, kamar bola, Rumah Simau atau bangunan terbuat dari kayu yang mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, pemakaman Belanda, pemakaman  China, makam pahlawan, gedung bulutangkis Belanda, Air Panas Alami, Alat Tambang Kuno, Sungai Lusang, Hutan TNKS dan kerajinan perak. (**)

Naskah: Agustam Rachman SH; Expert of Paskass
agustam@paskass.com

Jumat, 01 April 2011

Semilir Angin di Muara 5 Sungai






Semilir Angin di Muara 5 Sungai

SEBAGIAN
besar pemukiman penduduk di Kabupaten Mukomuko tersebar di sepanjang pantai pesisir Provinsi Bengkulu. Tak heran jika kabupaten ini kaya dengan obyek wisata bahari. Jika beberapa waktu lalu Tim Radutraveling sempat mengunjungi pantai di Desa Retak Ilir Kecamatan Ipuh, belum lama ini tim kembali menapakkan jejak di Pantai Desa Air Rami.
Tak kalah indahnya dengan Pantai Retak Ilir, wisata bahari di pantai yang juga merupakan muara 5 sungai ini kita akan menemukan kesejukan alami melalui semilir angin dipadu dengan pesona keindahan alam di sekelilingnya. Berbeda dengan lokasi Pantai Retak Ilir, pantai ini lokasinya lebih mudah ditempuh. Sebab wilayahnya cukup dekat dengan pemukiman penduduk dan ibukota kecamatan.
Ditemani salah seorang pemuda pemuda Air Rami, Bastian dan 2 orang warga lain, Japar dan Sapuan, untuk tiba di lokasi wisata ini kita hanya menempuh jarak 300 meter dari jalan lintas Bengkulu-Mukomuko. Hamparan pantai dihiasi butiran pasir menyilaukan serta semilir angin menyejukkan menyambut perjalanan tim belum lama ini.
Setelah beristirahat sejenak, kami langsung menelusuri kawasan pantai yang terbentang lebih kurang sepanjang 2 Km. Selain menawarkan kesejukan lewat anginnya, kawasan wisata ini juga menawarkan keindahan muara. Untuk diketahui, muara di kawasan pantai ini merupakan titik akhir 5 aliran sungai yang ada di Kabupaten Mukomuko.
Tak kalah indahnya dengan muara, di sekiling muara tersebut juga berdiri gagah dataran tinggi. Jika saja pengunjung mendatangi lokasi ini pada saat matahari akan terbenam, keindahan alam ini akan semakin memesona karena kita bisa melihat semburat sinar memerah layaknya sunset. Apalagi, biasanya puluhan perahu tradisional nelayan sudah berjejer rapi di pinggir muara. Hmm.. benar-benar indah.
Sekitar 2 jam menelusuri Pantai Air Rami, kami juga mengunjungi tempat persinggahan yang masih dalam kawasan Desa Air Rami. Kawasan ini sering dikenal dengan sebutan Pantai Agam. Di sini, pengunjung lebih ramai karena Pantai Agam ini berada di pinggir jalan lintas.
Menurut Bastian, keindahan kawasan pantai ini sebenarnya akan lebih indah jika tak dirusak abrasi. "Dulunya kawasan pantai ini ramai dikunjungi. Tapi seiring waktu dan tak terawatnya obyek wisata ini, pengunjung mulai berkurang. Tapi saat hari libur, kawasan ini tetap ramai dikunjungi," ujarnya.

Belum Maksimal
Tak jauh berbeda dengan potensi wisata lainnya, Pantai Air Rami ini juga belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga keindahan alam ini pun belum bisa menghasilkan PAD lebih bagi daerah. "Pengelolaannya belum maksimal. Sehingga lokasinya tidak tertata. Meski demikian, kawasan ini tetap ramai dikunjungi ketika hari libur," ujar Japar.
Tak hanya kurangnya perhatian dari pemerintah, namun tampaknya warga di sekitar lokasi juga masih setengah hati merawatnya. Idealnya, lanjut Japar, perhatian pemerintah harus didukung dengan kekompakan dan komitmen masyarakat untuk memberikan rasa nyaman bagi pengunjung.
Sementara menurut Sapuan, jika bicara potensi, kawasan pantai desa ini cukup bisa diandalkan. Sebab pantai di desa mereka ini memiliki daya tarik tersendiri. Selain bisa menikmati keindahan pantai, pengunjung juga bisa merasakan ademnya muara lima sungai. "Muara ini merupakan muara Sungai Air Rami, Puding Mas, Air Gegas, Bedeng Kimoy dan Sungai Sabai Kecil," ungkapnya.
Jika dikelola maksimal, dia yakin wisata ini dapat menggeliatkan ekonomi masyarakat di sekitar, selain memberikan kontribusi berupa PAD bagi daerah. "Untuk itu kami sangat berharap kepada Pemkab Mukomuko melalui dinas terkait untuk membaca peluang ini. Galakkan lagi penghijauan, biar tidak gersang. Karena potensinya, pantai ini cukup strategis untuk dikembangkan," demikian Sapuan. (Doni Aftarizal - Radar Utara)